top of page

Siapa Sangka, Kemayoran Kampung Betawi Tertua

20 Desember 2013 13:32

JAKARTA - Jika Anda sering melewati kawasan Kemayoran, Jakarta Pusat, mungkin Anda tak percaya kalau pada dulunya kawasan ini dipenuhi dengan masyarakat Betawi. Dulunya kawasan ini merupakan kampung tertua di Jakarta yang dipimpin oleh seorang Bek. Namun, seiring perkembangan zaman, kawasan ini sudah dipenuhi gedung pencakar langit. 

 

    Kawasan ini juga dikenal sebagai pemukiman Indo-Belanda, sehingga lahirlah julukan ‘Belanda Kemayoran’. Karena, zaman dulu kawasan ini pernah dikuasai oleh Belanda dan mulai bermunculan pendatang dari Cina, 

Patung ondel-ondel yang menjadi ciri khas budaya Betawi ini tengah dibangun di kawasan Kemayoran, Jakarta Pusat. Sepasang boneka patung ini memiliki tinggi sekitar sembilan meter dan akan menjadi ikon baru kota Jakarta. Sumber: Tribunnews.com

India, Sumatera, dan Indonesia bagian timur. Selain itu, di kawasan ini juga terdapat bekas tentara Belanda paska Perang Dunia ke – II.

 

    Pendatang tersebut datang ke Kemayoran dan dijadikan pekerja dalam pembuatan jalan, parit-parit, atau ikut dalam wajib militer untuk menghadapi Sultan Hasanuddin dan Sultan Agung dari Mataram. Awalnya para pendatang dipandang negatif karena dianggap berasal dari golongan orang susah, namun terjalin komunikasi diantara mereka anggapan tersebut mulai berubah bahkan penduduk asli mulai terpengaruh untuk bekerja keras demi kesejahteraan keluarganya.

 

Di Kampung Kemayoran banyak berkembang berbagai seni budaya daerah, diantaranya keroncong, seperti

Ani-ani bukannya waja

Memotong padi di gunung

Saya menyanyi bukan sengaja

Menghibur hati nan bingung

Reff: Olele di Kotaraja

Bole enggak boleh

Dibawa saja

                                                                                                                                                                                    Sepenggal lagu keroncong itu menjadi simbol kebanggaan penduduk Kemayoran. Syairnya tidak terikat kepada suatu cerita bersambung, melainkan pantun-pantun lepas yang diingat secara improvisasi. Tak hanya keroncong, masyarakat saat itu juga menggemari RObana Gembrung, Wayang Kulit, Tanjidor, Cokek, orkes Gambus, Gambang Kromong, dan Dermuluk yang memiliki tempat di hati mereka. (Nelly)

Semua tulisan, potret, dan video disusun oleh tim ArtINESIA

                 TIm ArtINESIA:

@megumigunawan @nellyhassani @ridwanajii @rizkiasra

 

bottom of page